Rabu, 14 Juni 2017

Resume menjadi pendidik atau guru



Menjadi seorang guru dimanapun berada, guru akan selalu siap untuk mendidik anak peserta didiknya yang terutama mendidik anak usia dini. Susah tidak menjadi seorang guru? Jadi pertanyaan seperti itu yang pasti di lontarkan kebanyakan orang-orang, menjadi seorang guru atau pendidik harus mempunyai keterampilan. Keterampilan saja tidak cukup untuk guru mendidik  peserta didik apalagi anak usia dini yang masih masa emas, dimana selain keterampilan harus di dukung juga oleh pengalamannya. Guru juga haru bisa menyesuaikan atau mau mengikuti perubahan lingkunganya, seperti guru yang nantinya di tugaskan mendidik di tempat manapun siap. Adapun juga pembelajaran yang berbasisi di luar kelas yang disebut campuran atau blended learning.
Sekilas membahas pembelajaran yang dulu masih seperti pembelajaran klasikal adapun pembelajaran seperti kelas kelompok dan individu dimana pembelajaran ini mengerjakan tugas ditempat. Di dalam pembelajaran kelas kelompok ada perinsip, hukum, ketentuan dan tata tertib, dari pembelajaran ini menyampaikan secara utuh tidak memanipulasi. Dalam pembelajaran guru juga harus mendidik dalam pembelajaran pendidikan karakter anak yang di didik sedini mungkin. Adapun membelajaran dektron,membelajaran ini seperti pembelajaran matematika dimana yang terdapat penjumlahan, pembagian, pengurangan, yang di ajarkan anak 2 x 2=4.
            Edward De Bono mengembangkan pikiran Divergen yang menyebar, dalam otak yang berkembang yaitu otak kanan yang berfungsi anak lebih kreatif orang yang hidup lama juga karena berfikir divergen, adapun convergen yang berfungsi belahan otak kiri

Resume Fenomena gambar gunung kembar, Beban gambar gunung kembar ,dan Kembali ke gambar gunung kembar



"Pola gambar gunung kembar menjadi fenomena yang menarik sebagai bahan kajian dalam membahas gambar karya anak-anak Indonesia. Pola ini, selalu muncul dalam gambar buatan anak-anak di manapun anak-anak itu bertempat tinggal. Pola pengaruh lingkungan yang selama ini ditunjuk sebagai kekuatan yang bisa mewarnai kegiatan menggambar anak-anak, ternyata tidak semuanya bisa dibuktikan. Ada sesuatu yang jelas menjadi penanda munculnya gambar pola gunung kembar, yaitu ketika anak-anak mulai berhubungan dengan orang lain di luar keluarganya. Terutama ketika anak-anak mulai memasuki dunia sekolah: Taman Kanak-kanak (TK), berlanjut ke tingkat Sekolah Dasar (SD), bahkan hingga sekolah menengah (SMP dan SMA) ".
Contoh salah satu gambar gunung kembar



                                                                                                                                          
"Sebuah kondisi umum yang ditemukan dalam gambar anak-anak dengan pola "gunung kembar" adalah 2 bidang 'luas' yang sulit ditaklukan oleh anak-anak. Pola gambar tersebut menyisakan dua ruang bidang gambar yang penggarapannya bisa melelahkan. Seseorang yang ingin mengisi kedua bidang tersebut, harus berpikir "bagaimana mengisi lahan luas di depan penggambar hingga ujung kaki gunung"? Kesadaran bahwa antara gunung dengan penggambar ada 'jarak' yang amat luas, amat jauh, memaksa penggambar harus bersusah payah mengisikan banyak objek dalam dua bagian lahan tadi. Sebuah pemecahan masalah yang lazim ditemukan adalah, setelah menempatkan jalan lurus atau berkelok (ini bagian pola 'wajib' dalam pola gambar "gunung kembar"), adalah mengisi bidang kiri dengan gambar petak-petak sawah atau tegalan yang berpohon jarang, dan sebelah kanan dengan ruang berair sejenis danau atau laut. Pola ini bisa juga memaksa penggambar untuk mengisi bagian kiri dan kanan dengan tegalan, sementara bagian tengah dengan lahan berair. Yang perlu mendapat perhatian guru dan orang tua adalah beban berat yang dihadapi anak-anak ketika mereka telah sangat kuat terikat pola gambar "gunung kembar". Anak-anak menghadapi bidang gambar yang harus diisi begitu banyak objek (tuntutan rasio), sementara mereka memiliki keterbatasan imajinasi. Jalan keluar menghadapi permasalahan itu adalah mengenalkan pola perspektif objek, bahwa benda-benda yang ada di alam tidak berposisi sama semuanya. Objek-objek selalu menempati ruang yang berbeda (:contohkan dengan melihat benda-benda sebenarnya di alam). Menggambar alam, sebaiknya melihat langsung alamnya. Menggambar menggunakan imajinasi semata kerap berbentrokan dengan pertimbangan rasio. Pertimbangan rasio itulah yang sering membebani anak-anak dan remaja. Apalagi jika beban itu ditambah oleh pertanyaan dan pernyataan guru atau orang tua: "Kok gambarnya begitu? Mengapa tidak begini dan begitu?" "





Contoh gambar beban gambar gunung kembar

Gambar jalan dalam pola gambar "gunung kembar" seolah menjadi objek 'wajib'. Anak-anak tertentu menggarap penggambaran gunung menjadi lebih beragam dari pola dasar yang telah mereka dapatkan


 Pola gambar perspektif burung, penggambar berada di posisi atas, menyebabkan lahan gambar yang
semakin luas, semakin berat beban keharusan dalam mengisi lahan luas tersebut
"Di lingkungan masyarakat seniman Bali, apapun jenis kegiatannya, bisa melukis, mematung, membuat karya kriya, peniruan demi peniruan terus dilakukan. Seniman yang menjadi pendahulu satu bentuk kegiatan (pola karya) tertentu, tidak pernah merasa keberatan jika gaya melukis atau mematungnya ditiru seniman lain. Mereka saling melengkapi temuan dalam membangun gambaran pola karya milik masyarakat Bali. Oleh karena itu, ketika satu pola karya muncul, kemudian jenis karya tersebut disukai pasar, tren itu akan menjamur di setiap sudut sentra kegiatan industri kreatif masyarakat Bali. Hal itu akan berjalan normal tanpa tuntut-tuding meniru, menjiplak, atau plagiat. Pola tersebut telah menjadi budaya masyarakat Bali secara umum. Bahkan dalam sistem cantrik yang dibangun di sanggar-sanggar, pola copy the master, seperti yang juga terjadi dalam dunia kesenirupaan Cina, telah banyak melahirkan seniman-seniman dengan ciri jatidiri yang baru. Mungkin, ciri masternya masih kental dalam karya para murid. Tetapi, lambat laun jatidiri seniman sebagai pribadi yang berbeda dengan pribadi lainnya, tetap bisa muncul sebagai hasil pencarian yang berkelanjutan. Dalam sejumlah kasus, hasil kegiatan di lingkungan pendidikan formal kesenirupaan pun masih banyak ditemukan karya mahasiswa yang menampakkan pengaruh warna guru-murid.
Maraknya tuntutan HaKI (hak atas kekayaan intelektual), hal itu juga muncul dari pikiran dan ego masyarakat Barat, merasuk juga ke wilayah masyarakat heterogen tradisi-modern. Wacana tentang masalah tersebut sempat ramai di lingkungan tradisi dan modern Bali. Bahkan menjadi polemik antarpendukung dan penolak paham tersebut.Tradisi kutipan dalam karya ilmiah telah lama disetujui sebagai konvensi peminjaman buah pikiran orang lain yang dianggap sangat etis. Di lingkungan seni musik tari, dan teater, begitu banyak seniman musik, tari, dan teater yang dibesarkan karena memainkan karya orang lain, bukan karya sendiri. Semua itu seakan tak ada masalah. Tetapi dalam dunia seni rupa yang umum, dipengaruhi pikiran ego Barat, murni-terap, seniman-perajin, pekota-pedesa (istilah Prof. Sudjoko), tetap dimunculkan sebagai gambaran pemilahan dua kubu masyarakat: akademis dengan nonakademis. Bahkan kolaborasi yang mengaku seniman dan yang dituding nonseniman (biasanya disebut perajin atau pengrajin saja) telah berlaku juga, tetapi tidak pernah diekspos. Sebuah patung berukuran raksasa tak mungkin dikerjakan oleh pematungnya sendirian, di situ banyak tenaga perajin yang berperan penting, tetapi hasilnya tetap diaku sebagai karya pematungnya seorang. Berbeda dengan karya film, yang bisa menjadi lebih terkenal biasanya pemeran tokoh utama film, sementara penulis skenario, sutradara, ilustrator musik, dan pendukung kerja kelompok lainnya, kadangkala tidak sempat dikenal sama sekali.Manusia adalah mahluk yang dibesarkan dan didewasakan melalui kegiatan aneka peniruan. Bahkan, dalam kehidupan awal manusia yang sangat bergantung kepada keberadaan manusia dewasa lain, manusia sepenuhnya dibiasakan dalam peniruan-peniruan. Imajinasi dalam menampilkan manusia kera, seperti tokoh cerita Tarzan, adalah terkait dengan kondisi bentukan dari hasil peniruan lingkungan gorilla “penyayang” yang mengasuhnya. Begitupun dengan lahirnya tokoh Reo hasil bentukan lingkungan serigala dalam cerita komik Ganes TH. Adanya kesadaran tentang peran meniru hampir dalam keseluruhan hidup manusia itulah yang melahirkan model pembelajaran copy the master.Dalam kegiatan penelitian Budiaprilliana, pembelajaran seni rupa pola dikte dibandingkan dengan pola copy the master. Kegiatan tersebut diulang masing-masing dalam 8 kali pertemuan pembelajaran. Materi ajar disesuaikan dengan materi resmi sekolah yang telah diatur secara kurikulum. Kelompok kontrol tetap mengikuti pola pembelajaran dikte, sementara itu kelompok eksperimen dikondisikan dengan pembelaran pola copy the master. Yang disebut gambar master adalah gambar yang telah jadi yang dibuat oleh peneliti, yang dijadikan pemancing kreativitas siswa. Gambar dengan pola dikte adalah gambar yang dibuat oleh peneliti di papan tulis secara bertahap untuk diikuti langkah demi langkah oleh siswa.
Proses kegiatan pembelajaran dah hasil gambar dicatat sebagai bahan analisis bandingan. Analisis yang dilakukan oleh peneliti adalah analisis situasi pembelajaran berupa catatan perilaku siswa selama pembelajaran dan analisis kondisi visual gambar. Kondisi pembelajaran dengan pola copy the master, pada pertemuan kesatu dan kedua belum menampakkan perbedaan situasi yang mencolok bila dibandingkan dengan situasi pembelajaran pola dikte. Begitupun hasil gambar yang dibuat oleh masing-masing siswa (kelompok kontrol maupun kelompok eksperimen). Tetapi pada pertemuan pembelajaran lanjutan, suasana kelas copy the master lebih hidup dan ramai dengan obrolan tentang materi gambar maupun ekspresi siswa. Gambar hasil peniruan pun mulai banyak berubah, lebih kaya dengan tambahan objek gambar sesuai dengan ekspresi siswa masing-masing. Berbeda dengan siswa kelompok kontrol, mereka tampak lebih “tertib, diam, dan sunyi” ketika menyelesaikan karya. Hasil gambar pun tampak kurang variatif, terutama dalam hal bentuk yang digambar.
Pada pertemuan ke-8, peneliti melaksanakan perlakuan yang berbeda kepada kedua kelompok, yaitu memberi kesempatan siswa untuk menggambar tanpa tema dan tanpa contoh. Hasilnya di luar perkiraan peneliti. Gambar karya siswa PAUD yang menjadi sasaran penelitian, kembali ke gambar “konvensional” anak-anak Indonesia: gambar pemandangan dengan dua gunung kembar sebagai latar belakang!
Siswa pada kelompok kontrol (14 orang), 80% di antaranya menggambar pemandangan dengan latar gunung kembar dan matahari sepertiga berisi berkas sinar yang mengintip di antara dua gunung. Sisanya menggambar tema lain yang berbeda. Kelompok eksperimen (17 orang), 50% di antaranya menggambar pemandangan dengan latar gunung kembar, sisanya menggambar tema-tema lain yang beragam. Kenyataan ini membuktikan bahwa gambar pemandangan yang dilengkapi dengan gunung kembar sangat melekat sebagai ciri gambar yang biasa dibuat oleh anak-anak Bali. Bahkan bisa dibuktikan melalui pengumpulan gambar karya anak-anak Indonesia lainnya.
Saya menyimpan ribuan gambar hasil penelitian kecil tugas kuliah mahasiswa yang mengikuti mata kuliah yang saya ampu. Gambar-gambar tersebut didapatkan dari Jakarta, Bandung, sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur, semua kabupaten di Bali, dan beberapa daerah di Lombok. Dalam kumpulan tersebut, karya anak-anak TK hingga SMA banyak sekali yang bertema pemandangan dengan latar gunung kembar. Bahkan, saya temukan juga dibuat oleh mahasiswa semester awal Jurusan Pendidikan Seni Rupa.
Apakah gambar pemandangan dengan latar gunung kembar itu arketif anak-anak Indonesia? Unsur bentuk gambar lain yang kerap muncul adalah matahari (: ada yang muncul di sela gunung, ada yang penuh bulat di atas gunung, ada juga yang muncul setengah atau sepertiga di sudut atas kiri atau kanan kertas) yang digambarkan memancarkan sinar, burung dengan bentuk dasar tanda silang, jalan lurus atau berkelok ke arah gunung, sering dilengkapi gambar tiang listrik yang berderet atau pohon-pohon semua digambar dengan sudut pandangan perspektivis. Hal lain yang biasa ditemukan, di kiri-kanan jalan digambarkan hal-hal lain yang beragam: ada kotak-kotak sawah diisi gambar rumpun padi dengan pola bentuk seperti mata panah terbalik, ada juga gambar danau atau sungai lengkap dengan perahu atau pemancing ikan di pinggirnya, atau gambar rumah khas yang dilengkapi vas bunga berderet. Gambar awan, yang dibuat oleh generasi sebelum ada ajaran Tino Sidin di TVRI Pusat, berbentuk deretan garis melengkung setengah lingkaran yang disusun berjenjang menyerupai pola segitiga tumpul, kini bentuknya seperti bentuk kapas meniru gaya awan dalam komik manga. Semua pola tersebut tampil seperti seragam pada semua gambar dari beragam tempat asal pembuat gambar.

Gambar pola gunung kembar memang arketif gambar anak-anak Indonesia. Anak-anak berkebutuhan khusus dengan spesifikasi retardasi mental pun menggambar menggunakan pola yang sama dengan kebanyakan anak-anak normal. Berulangkali surfing mencari gambar anak-anak di luar Indonesia, hingga kini belum menemukan gambar dengan pola pemandangan dengan latar gunung kembar. Hal ini semakin jelas mengindikasikan bahwa gambar pola gunung kembar adalah ciri khas gambar anak-anak Indonesia". 

PEMBAHASAN KURIKULUM



Pada tahun 70an perkembanagn diatur oleh tujuan yang terdapat dari:
Tujuan negara , tujuan lembaga, tujuan materi ajar bagian dari gambaran dalam pembelajaran
adapun beberapa kompetensi :
a)      Kompetensi standar
b)      Kompetensi inti
c)      Kompetensi dasar
Dalam KTSP, pendidikan seni rupa menjadi bagian dari mata pelajaran Seni Budaya untuk SMP/MTs dan SMA/MA, dan mata pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan untuk SD/MI. Baik di SD/MI, SMP/MTs, maupun di SMA/MA mata pelajaran seni budaya diberi alokasi waktu dua jam pelajaran. Mata pelajaran Seni Budaya mencakup seni rupa, seni musik, seni tari, dan seni teater. Kemampuan-kemampuan tersebut dirumuskan menjadi sejumlah kompetensi dasar (KD) yang meliputi berbagai cabang seni rupa (seni murni dan terapan) dan cakupan wilayah (lokal/daerah setempat, Nusantara, dan mancanegara).
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar pendidikan seni rupa di SD/MI sampai dengan SMA/MA selengkapnya sebagai berikut:
STANDAR KOMPETENSI
KOMPETENSI DASAR
Kelas I, Semester 1
1. Mengapresiasi karya seni rupa
1.1 Mengidentifikasi unsur rupa pada benda di alam sekitar
1.2 Menunjukkan sikap apresiatif terhadap unsur rupa pada benda di alam sekitar
2. Mengekspresikan diri melalui karya seni rupa
2.1 Mengekspresikan diri melalui gambar ekspresif
2.2 Mengekspresikan diri melalui teknik menggunting/menyobek
Sesuai dengan namanya (KTSP), kurikulum pendidikan seni rupa disusun oleh sekolah, yaitu oleh guru seni rupa. Untuk melaksanakan kurikulum tersebut, guru harus mengembangkan perencanaan pembelajaran dalam bentuk silabus, yang mencakup SK dan KD, materi pembelajaran, kegiatan pembelalajaran, indikator, dan sistem penilaian. Tugas membuat silabus ini tidak dikenal dalam kurikulum sebelumnya, dan merupakan tantangan baru bagi guru seni rupa, karena guru harus mampu menentukan sendiri aspek-aspek dalam silabus tersebut (kecuali SK dan KD) sesuai dengan karakteristik daerahnya. Selanjutnya, sebagai kelengkapan KTSP, guru juga harus mengembangkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), yang mencakup SK dan KD, tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, metode pembelajaran, langkah-langkah kegiatan pembelajaran, sumber belajar, dan penilaian. Untuk mengembangkan perencanaan pembelajaran ini, guru harus memahami konsep-konsep pendidikan seni rupa serta pembelajaran pada umumnya yang mutakhir.

RESUME KURIKULUM SENI RUPA



Pendidikan Seni Rupa dalam KTSP dalam KTSP, pendidikan seni rupa menjadi bagian dari mata pelajaran Seni Budaya untuk SMP/MTs dan SMA/MA, dan mata pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan untuk SD/MI. Baik di SD/MI, SMP/MTs, maupun di SMA/MA mata pelajaran seni budaya diberi alokasi waktu dua jam pelajaran. Mata pelajaran Seni Budaya mencakup seni rupa, seni musik, seni tari, dan seni teater. Dalam Standar Isi disebutkan bahwa pendidikan seni budaya diberikan di sekolah karena keunikan, kebermaknaan, dan kebermanfaatannya bagi perkembangan peserta didik. Pendidikan seni didasarkan pada pendekatan “belajar dengan seni,” “belajar melalui seni” dan “belajar tentang seni.” Belajar dengan seni berarti bahwa dengan mempelajari seni, peserta didik dapat mengembangkan pengetahuannya di luar bidang seni. Dalam belajar melalui seni, peserta didik dapat mengembangkan pengetahuannya melalui berkreasi seni. Belajar tentang seni berarti bahwa peserta didik diharapkan dapat mengembangkan pengetahuannya tentang seni itu sendiri. Dengan demikian pembelajaran seni di sini dipandang sebagai metode belajar.
Selain pendekatan tersebut, pendidikan seni budaya dipandang secara multilingual, multidimensional, dan multikultural. Multilingual berarti pengembangan kemampuan mengekspresikan diri melalui berbagai media seperti bahasa rupa, bunyi, gerak, peran dan berbagai perpaduannya. Multidimensional berarti pengembangan berbagai kompetensi meliputi konsepsi (aspek kognitif), apresiasi (aspek afektif), dan kreasi (aspek psikomotor) dengan memadukan unsur estetika, logika, kinestetika, dan etika. Multikultural berarti bahwa pendidikan seni menumbuhkembangkan kesadaran dan kemampuan apresiasi terhadap beragam budaya Nusantara dan mancanegara, yang merupakan wujud sikap demokratis agar seseorang hidup secara beradab serta toleran dalam masyarakat dan budaya yang majemuk.
Pendidikan seni budaya juga dipandang memiliki peranan dalam pembentukan pribadi peserta didik yang harmonis dengan memperhatikan kebutuhan perkembangan anak dalam mencapai multikecerdasan yang mencakup kecerdasan intrapersonal, interpersonal, visual spasial, musikal, linguistik, logik matematik, naturalis serta kecerdasan adversitas, kecerdasan kreativitas, kecerdasan spiritual dan moral, dan kecerdasan emosional.
Bidang seni rupa, musik, tari, dan teater memiliki kekhasan sesuai dengan kaidah keilmuan masing-masing. Dalam pendidikan seni budaya, aktivitas berkesenian harus menampung kekhasan tersebut yang diberikan dalam pengalaman mengembangkan konsepsi, apresiasi, dan kreasi. Hal ini dilakukan dengan eksplorasi elemen, prinsip, proses, dan teknik berkarya dalam konteks budaya masyarakat yang beragam.
Mata pelajaran Seni Budaya bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: (1) memahami konsep dan pentingnya seni budaya, (2) menampilkan sikap apresiasi terhadap seni budaya, (3) menampilkan kreativitas melalui seni budaya, dan (4) menampilkan peran serta dalam seni budaya dalam tingkat lokal, regional, maupun global. Selanjutnya mata pelajaran Seni Budaya mencakup aspek-aspek sebagai berikut:
1.      Seni rupa, mencakup pengetahuan, keterampilan, dan nilai dalam menghasilkan karya seni berupa lukisan, patung, ukiran, cetak-mencetak, dan sebagainya.
2.      Seni musik, mencakup kemampuan untuk menguasai olah vokal, memainkan alat musik, apresiasi karya music
3.      Seni tari, mencakup keterampilan gerak berdasarkan olah tubuh dengan dan tanpa rangsangan bunyi, apresiasi terhadap gerak tari
4.      Seni teater, mencakup keterampilan olah tubuh, olah pikir, dan olah suara yang pementasannya memadukan unsur seni musik, seni tari dan seni peran.
Di antara keempat bidang seni yang ditawarkan, minimal diajarkan satu bidang seni sesuai dengan kemampuan sumberdaya manusia serta fasilitas yang tersedia di sekolah. Untuk sekolah yang mampu menyelenggarakan pembelajaran lebih dari satu bidang seni, peserta didik diberi kesempatan untuk memilih bidang seni yang akan diikutinya.
Berdasarkan pendekatan, pandangan, dan tujuan tersebut, pendidikan seni dilaksanakan dalam bentuk kegiatan berekspresi (berkreasi) dan berapresiasi seni. Untuk itu, di dalam kurikulum tersebut ditetapkan dua standar kompetensi (SK) untuk bidang seni rupa, yaitu mengapresiasi karya seni rupa dan mengekspresikan diri melalui karya seni rupa. Standar kompetensi mengapresiasi seni rupa mencakup kemampuan mengidentifikasi dan menampilkan sikap apresiasi terhadap karya seni rupa. Standar kompetensi mengekspresikan diri melalui karya seni rupa mencakup kemampuan menciptakan karya seni rupa serta melaksanakan pameran seni rupa. Kemampuan-kemampuan tersebut dirumuskan menjadi sejumlah kompetensi dasar (KD) yang meliputi berbagai cabang seni rupa (seni murni dan terapan) dan cakupan wilayah (lokal/daerah setempat, Nusantara, dan mancanegara).
Sesuai dengan namanya (KTSP), kurikulum pendidikan seni rupa disusun oleh sekolah, yaitu oleh guru seni rupa. Untuk melaksanakan kurikulum tersebut, guru harus mengembangkan perencanaan pembelajaran dalam bentuk silabus, yang mencakup SK dan KD, materi pembelajaran, kegiatan pembelalajaran, indikator, dan sistem penilaian. Tugas membuat silabus ini tidak dikenal dalam kurikulum sebelumnya, dan merupakan tantangan baru bagi guru seni rupa, karena guru harus mampu menentukan sendiri aspek-aspek dalam silabus tersebut (kecuali SK dan KD) sesuai dengan karakteristik daerahnya. Selanjutnya, sebagai kelengkapan KTSP, guru juga harus mengembangkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), yang mencakup SK dan KD, tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, metode pembelajaran, langkah-langkah kegiatan pembelajaran, sumber belajar, dan penilaian. Untuk mengembangkan perencanaan pembelajaran ini, guru harus memahami konsep-konsep pendidikan seni rupa serta pembelajaran pada umumnya yang mutakhir.
Sumber ; https://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://staffnew.uny.ac.id/upload/131662618/pendidikan/modul%2Bpembelajaran%2Bseni%2Brupa.pdf&ved=0ahUKEwjw4c7fyZLUAhWLM48KHT_WBCYQFggrMAI&usg=AFQjCNGffSdB7WYFP79LCO7DjaQhJ2kPUg&sig2=ebjvOBpINGaGmzfD9dWqNA